UPAYA MENGELOLA PERUBAHAN DI ERA GOOD CORPORATE GOVERNANCE
Written by Heri Susanto on Kamis, Mei 01, 2008Memperingati hari buruh yang jatuh pada tahun 2008, pada artikel ini penulis mengulas beberapa hal yang terkait dengan adanya arus perubahan yang akan berdampak terhadap nasib karyawan di Jasa Marga di masa yang akan datang.
Wacana
Reorganisasi, restrukturisasi, dan pengurangan karyawan akan menjadi kecenderungan yang akan terus dihadapi oleh para praktisi SDM dan para Pemimpin Serikat Karyawan Jasa Marga. Kondisi tersebut seringkali menimbulkan dampak yang besar terhadap tenaga kerja, seperti: hilangnya sistim kerja sepanjang hidup (long life employment), tingginya pengangguran, berkurangnya keamanan kerja, berkurangnya keterampilan kerja yang bersifat tradisional, pengurangan jumlah karyawan dan sebagainya. Contoh nyata yang mungkin belum hilang dari ingatan kita adalah penggabungan beberapa bank milik pemerintah menjadi Bank Mandiri beberapa waktu yang lalu. Penggabungan ini mengakibatkan banyak pegawai dari bank-bank pemerintah yang bersangkutan kehilangan pekerjaan.
Apalagi akhir-akhir ini merebak wacana dari Kementerian BUMN untuk merestrukturisasi beberapa BUMN, namun kita bersyukur dengan adanya kebijakan Direksi untuk tidak merasionalisasi jumlah karyawan yang ada, malah adanya kebutuhan karyawan baru untuk mengoperasikan ruas jalan tol yang akan dibangun yaitu ruas Bogor Ring road, ruas Semarang-Solo, ruas Gempol-Pasuruan dan penambahan jumlah Gerbang Tol akibat di relokasinya ruas Gempol-Porong.
Dalam artikel ini penulis hanya membahas antisipasi berbagai kemungkinan yang akan terjadi 5 – 10 tahun yang akan datang setelah Jasa Marga di Privatisasi. Privatisasi yang dilakukan Jasa Marga adalah sangat penting karena akan menjadikan Jasa Marga lebih efisien, transparan dan mempunyai nilai akuntabilitas yang dipersyaratkan dalam penerapan GCG.
Faktor Pendorong
Banyak hal yang mendorong munculnya kebutuhan untuk melakukan perubahan. Pakar Perilaku di Dalam Perusahaan , Robert Kreitner dan Angelo Kinicki (2001) dalam bukunya Organizational Behavior, menyatakan bahwa ada 2 kekuatan yang dapat mendorong munculnya kebutuhan untuk melakukan perubahan di dalam perusahaan, yaitu:
1. Kekuatan eksternal, yaitu kekuatan yang muncul dari luar perusahaan, seperti : karakteristik demografis (usia, pendidikan, tingkat ketrampilan, jenis kelamin, imigrasi, dsbnya), perkembangan teknologi, perubahan-perubahan di pasar, tekanan-tekanan sosial dan politik. Dalam kasus yang dihadapi Jasa Marga, kekuatan eksternal (persaingan yang ketat di pasar) setelah di berlakukannya UU No. 38/2004,
2. Kekuatan internal, yaitu kekuatan yang muncul dari dalam perusahaan, seperti : masalah-masalah prospek Sumber Daya Manusia (kebutuhan yang tidak terpenuhi, ketidak-puasan kerja, produktifitas, motivasi kerja, dsb-nya), perilaku dan keputusan manajemen. Dalam kasus yang dihadapi Jasa Marga pada saat ini adalah change managemen yang merupakan sebuah tuntutan adanya perubahan karena telah dicanangkannya Visi Jasa Marga untuk menjadi Perusahaan yang modern. Ciri dari Perusahaan yang modern adalah manajemen yang di pimpin oleh para manajer yang mempunyai team work yang solid. Tuntutan ini mengharuskan adanya perubahan struktur organisasi perusahaan.
Tahapan Perubahan
Menurut Raymond J. Stone seorang konsultan SDM dalam bukunya Human Resources Management (1998), ada sejumlah langkah-langkah yang harus dilakukan dalam mengelola perubahan, yaitu :
1. Menetapkan kebutuhan untuk melakukan perubahan
Langkah ini penting dilakukan untuk memastikan bahwa perubahan yang akan digulirkan benar–benar sesuai dengan kebutuhan nyata yang ingin dicapai perusahaan. Kebutuhan akan adanya perubahan dapat muncul bila ada kesenjangan antara sasaran-sasaran yang ingin dicapai oleh perusahaan dengan kondisi nyata di lapangan.
Dalam kasus yang di alami Jasa Marga saat ini, kebutuhan untuk melakukan perubahan muncul saat terjadi perubahan peran perusahaan yang tidak lagi sebagai Regulator Industri jalan tol di Indonesia seiring dengan diberlakukannya UU No. 38/2004. Peran Jasa Marga yang hanya sebagai operator industri jalan tol di Indonesia maka kedudukannya sama dengan investor lainnya maka Jasa Marga saat ini berupaya untuk tetap menjadi leader dalam industri jalan tol di Indonesia. Hal ini menuntut Jasa Marga untuk menerapkan Good Corporate Goevernance, tujuannya agar produk yang dihasilkan menjadi lebih kompetitif.
2. Mengenali hal-hal potensial yang dapat menghambat proses perubahan
Seorang praktisi perubahan harus mampu mengenali hal-hal yang secara potensial dapat menghambat proses perubahan yang akan digulirkan oleh perusahaan. Dari kasus yang terjadi di Jasa Marga saat ini, hal-hal potensial yang diramalkan dapat menghambat perubahan antara lain:
a. Ketidak-bersediaan karyawan untuk di PHK karena sulitnya mencari pekerjaan baru
b. Ketidak-sesuaian antara harapan karyawan tentang besarnya paket yang diinginkan
dan besarnya paket yang ditawarkan oleh perusahaan
c. Adanya kemungkinan keterlibatan pihak di luar perusahaan
d. Adanya friksi antar sesama karyawan di bagian operasional.
Melaksanakan perubahan
Perubahan dapat diperkenalkan baik oleh para manajer yang ada di dalam perusahaan itu sendiri atau dengan menggunakan konsultan. Masing-masing pendekatan mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Bila manajer internal menjadi agen perubahan, kelebihannya adalah bahwa ia memahami dengan baik operasi bisnis perusahaan dan orang – orang yang ada di dalamnya. Sedangkan kelemahannya adalah yang bersangkutan biasanya mempunyai wawasan dan cara pandang yang terbatas mengenai pengelolaan perubahan, dan tak jarang terlalu dipengaruhi oleh budaya perusahaan yang ada. Sedangkan kelebihan dari konsultan adalah yang bersangkutan bersifat netral dan mempunyai wawasan yang luas terhadap pengelolaan perubahan perusahaan. Kekurangannya adalah bahwa yang bersangkutan kurang memahami operasi bisnis perusahaan dan orang-orang yang bekerja di dalamnya. Melihat kelebihan dan kekurangan ini, maka banyak perusahaan yang melakukan kombinasi dari kedua hal tersebut dalam memperkenalkan perubahan. Yang dilakukan oleh Jasa Marga diharapkan yang berkaitan dengan fase ini adalah membuat tim perubahan yang dipimpin oleh Pimpinan Puncak perusahaan, yang anggota-anggotanya terdiri dari para manajer terkait (termasuk Manajer SDM) dan Konsultan Hubungan Industrial yang sangat memahami kondisi perusahaan serta Serikat Karyawan Jasa Marga (SKJM). Tim inilah yang bertindak sebagai agen-agen perubahan, yang bertugas untuk memperkenalkan, melaksanakan, dan mengevaluasi perubahan yang dilakukan kepada seluruh karyawan terkait. Dengan pendekatan ini, proses perubahan yang dilakukan relatif berjalan lancar
3. Mengevaluasi perubahan
Untuk mengukur efektifitas perubahan, perusahaan harus membandingkan situasi sebelum dan sesudah dilaksanakannya perubahan. Beberapa indikator dapat digunakan untuk mengukur pengaruh dari perubahan tersebut, seperti : produktivitas karyawan, kepuasan kerja, hasil survey pendapat karyawan, hasil penjualan, pengurangan biaya produksi, dan sebagainya. Dari evaluasi kualitatif yang dilakukan terhadap perubahan yang dilakukan perusahaan, sepatutnya menunjukkan hal – hal sebagai berikut :
a. Kordinasi kerja menjadi lebih baik karena struktur perusahaan menjadi lebih
sehingga dapat mengurangi birokrasi kerja yang tidak perlu
b. Kerjasama antar karyawan menjadi lebih baik di bawah kepemimpinan yang baru yang
lebih terbuka dan komunikatif.
c. Suasana kerja menjadi kondusif untuk menunjang bisnis perusahaan, karena
terbangun kepercayaan yang lebih baik diantara manajemen dan karyawan, karena
tidak adanya lagi persepsi terhadap perlakuan yang berbeda antara Biro dan Divisi.
Kegagalan Mengelola Perubahan
Banyak kegagalan yang dialami perusahaan saat melakukan perubahan, yang mengakibatkan kerugian yang dialami oleh perusahaan. Kegagalan itu terjadi akibat kesalahan-kesalahan yang dibuat saat mengelola perubahan, seperti :
1. Mengabaikan aspek manusia dalam mengelola perubahan
Timothy J. Galpin menyatakan dalam bukunya The Human Side of Change (1996) bahwa selama proses penggabungan perusahaan, penurunan besarnya ukuran perusahaan, maupun restrukturisasi yang dilakukan perusahaan, kebanyakan dari mereka lebih memusatkan perhatiannya kepada aspek-aspek teknis, finansial dan operasional, daripada aspek manusia. Akibatnya upaya perubahan yang dicanangkan mengalami kegagalan. Hal ini tampak dalam bentuk terjadinya masalah perburuhan, keluarnya tokoh-tokoh kunci dan orang-orang berbakat dari perusahaan, dan tidak diperoleh manfaat atau sangat sedikit manfaat yang diperoleh dari perubahan yang dilakukan.
2. Perubahan tidak direncanakan dengan baik
Banyak perusahaan yang memperlakukan perubahan seperti sebuah peristiwa kebetulan atau hal rutin yang akan dapat diselesaikan dengan baik secara otomatis, tanpa sebuah perencanaan yang baik. Perubahan seharusnya merupakan sebuah aktivitas yang terencana, disengaja dan berorientasi pada tujuan. Tujuan dari sebuah perubahan menurutnya ada 2, yaitu : (1) Untuk meningkatkan kemampuan perusahaan dalam beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi di dalam lingkungannya, (2) Untuk merubah tingkah laku dari para karyawan. Akibat tidak direncanakannya perubahan dengan baik, maka tak jarang perubahan bergulir tanpa kendali atau berjalan tidak sesuai dengan rencana yang diharapkan, karena mendapat perlawanan dari para karyawan.
Praktisi perubahan gagal membangun koalisi yang cukup kuat
Salah satu penyebab kegagalan yang dialami oleh perusahaan dalam melakukan perubahan adalah tidak terbentuknya koalisi yang cukup kuat diantara orang-orang yang mempunyai wewenang dan kemampuan untuk mendorong perubahan. Upaya perubahan yang dilakukan tanpa dukungan koalisi yang cukup mungkin akan mengalami kemajuan untuk sementara waktu. Namun cepat atau lambat, akan muncul perlawanan-perlawanan yang dapat merusak inisiatif perubahan yang sudah dilakukan.
Dampak utama dari kesalahan yang dilakukan dalam mengelola perubahan adalah munculnya resistensi dari para manajer atau para karyawan yang terkait terhadap perubahan yang dilakukan oleh perusahaan. Definisi dari resistensi terhadap perubahan adalah sebagai suatu reaksi emosional/tingkah laku yang muncul sebagai respon terhadap munculnya ancaman, baik nyata atau imajiner bila terjadi perubahan pada pekerjaan rutin. Resistensi terhadap perubahan ini dapat muncul dalam berbagai macam bentuk reaksi. Bentuk-bentuk resistensi terhadap perubahan kedalam 4 kelompok yang semuanya berada dalam sebuah kontinum, yaitu : resistensi aktif (mis : sabotase, memperlambat kerja), resistensi pasif (mis: bekerja sesedikit mungkin, tidak ingin mempelajari tugas baru), reaksi yang tidak dapat dibedakan (bekerja hanya berdasarkan perintah, kehilangan minat terhadap pekerjaan), dan penerimaan (mis : mau bekerja sama, antusias).
Berbagai hal yang telah di ulas setidaknya dapat menjadi input untuk para Pemimpin Perusahaan mau pun para Pemimpin Organisasi Serikat Pekerja agar lebih solid lagi dalam menentukan berbagai kebijakan yang terkait dengan kesejahteraan karyawan mau pun keberlangsungan usaha Perusahaan