APAKAH HOLDING COMPANY JM MERUPAKAN SOLUSI ?
Written by Heri Susanto on Kamis, April 17, 2008Petinggi di Perusahaan kita belum lama ini merencanakan pembentukan 1 (satu) holding company (induk perusahaan) yang akan memayungi lebih dari 9 ruas jalan tol yang ada. Struktur pengelola perusahaan induk itu akan diisi manajer profesional. Sistem yang diterapkan juga sistem korporat, sebagaimana yang lazim pada perusahaan bisnis komersil. Sekarang pertanyaannya, Apakah holding company JM merupakan solusi tepat untuk membenahi carut-marutnya pengelolaan industri jalan tol di negeri ini. Atau, justru akan menimbulkan masalah yang lebih besar
Rencana itu, selain menunjukkan bahwa rencana dari Mentri Negara BUMN untuk menuju Indonesia Incorporated belum sepenuhnya terkubur dari benak sebagian masyarakat dan pejabat di negeri ini, juga menandakan pergeseran strategi penyehatan setelah JM di privatisasi ke korporatisasi. Dengan privatisasi JM, pemerintah menyerahkan sebagian kepemilikan JM kepada masyarakat. Sementara itu, pada korporatisasi -yang biasanya diiringi pembentukan holding perusahaan maka selanjutnya pemerintah menyerahkan pengelolaan JM kepada para profesional. Penerapan mekanisme korporat ini pada prinsipnya tetap mempertahankan kepemilikan.
Harapan utama korporatisasi adalah peningkatan kinerja dan tanggung jawab pengelolaan JM sebagai perusahaan negara, yang selama ini dirasakan belum optimal, meski privatisasi telah dilakukan.
Apakah dengan korporatisasi serta merta terhilangkan keharusan privatisasi lebih lanjut (Right issue) ? Jawaban pertanyaan tersebut amat tegas: tidak.
Namun, benarkah strategi korporatisasi itu mampu meningkatkan tata kelola di JM ?
Berikut beberapa argumen yang disintesiskan dari wacana ekonomi dan pengalaman objektif di Indonesia untuk menopang pendapat itu.
Pertama, korporatisasi akan memberikan definisi property rights yang lebih tegas pada JM, di satu sisi yaitu berupa pemisahan batas-batas antara kepemilikan (negara) dan kepengelolaan, hal itu akan menciptakan iklim lebih kondusif bagi tata kelola perusahaan.
Di sisi lain, pembentukan holding company akan mengakibatkan terpusatnya kendali pertangungjawaban dan pengawasan yang rawan penyelewengan dalam skala lebih besar. Terutama, bila pembentukan lembaga sentral tersebut sejak awal dimotivasi aspirasi politik dan semangat yang jauh dari rasionalitas ekonomi.
Kemungkinan ke arah terakhir itu dapat disimak dari pengalaman pemerintah mendirikan institusi sejenis, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Sebab, konsep BPPN tidak jauh berbeda dengan konsep perusahaan induk JM yang akan dibentuk, walau memiliki perbedaaan tujuan. Ide dasar kedua badan tersebut adalah pembentukan lembaga super yang menjadi sentral pengelolaan aset negara. Keduanya juga menerapkan mekanisme korporat dan memakai jasa profesional di luar birokrasi pemerintah.
Dalam perjalanannya, BPPN sarat dengan berbagai isu tak sedap, mulai suap, kolusi, penyalahgunaan wewenang, hingga penghamburan uang negara. Mekanisme korporat yang diterapkan berikut strategi mempekerjakan para profesional sama sekali tidak berarti.
Gaji selangit dan fasilitas memadai, bahkan melebihi yang diberikan perusahaan publik papan atas, tidak berbanding lurus dengan kinerja badan tersebut. Itu terlihat dari tingkat recovery rate yang hanya sebesar 28%, bahkan perhitungan lain dari Center for Banking Crisis (CBC) menunjukkan tingkat yang lebih rendah lagi sekitar 1% hingga 2,9%.
Dari situ, korporatisasi terbukti bukan jaminan perbaikan kinerja lembaga yang mengelola aset negara. Sebaliknya, korporatisasi yang diiringi sentralisasi pengelolaan justru bisa mendatangkan kerugian dalam skala yang lebih tidak terperikan.
Kedua, keberhasilan strategi korporatisasi akan sangat bergantung pada kemampuan menciptakan satu struktur reward and punishment, yang setara antara perusahaan negara dan perusahaan publik, sehingga dapat menghapuskan perbedaan insentif yang berkaitan dengan kepemilikan. Sebab, dalam perusahaan yang sahamnya dimiliki publik, terdapat insentif dan pengawasan pasar bagi pengelola untuk meningkatkan nilai aset dan menekan biaya perusahaan.
Sementara itu, pada perusahaan negara, yang kepemilikan saham mayoritasnya ada pada pemerintah dan pengelola (Direksi dan Karyawan) sebatas pekerja yang tidak memiliki klaim terhadap aset serta untung-rugi perusahaan, ada keterbatasan insentif dan pengawasan pemerintah yang mengakibatkan kurangnya motivasi pengelola untuk meningkatkan kinerja perusahaan negara.
Dalam praktiknya, sulit bagi pemerintah merancang satu struktur insentif dan pengawasan yang dapat secara penuh menjembatani perbedaaan tersebut. Sebab, ada ketimpangan informasi antara pengelola dan pemerintah, sehingga mustahil diciptakan satu bentuk pengawasan memadai bagi pengelola yang lebih mengetahui isi perusahaan berikut seluk-beluk permasalahannya.
Ketiga, langkah pembentukan perusahaan induk akan menyebabkan munculnya masalah collective action problem (persoalan tindakan kolektif) baru pada beberapa ruas tol yang akan diprivatisasi sebagian. Pemegang saham JM minoritas akan semata-mata mengandalkan (free ride) pengawasan perusahaan induk, tanpa aktif berpartisipasi dan mengeluarkan biaya.
Dengan kata lain, sebagaimana yang kerap diamati dalam banyak konteks ekonomi, ketika bombardir peran pemerintah menggusur mekanisme alami yang ada, akan terdapat satu efek pendesakan keluar (crowding-out effect) mekanisme pasar dengan pembentukan perusahaan induk JM.
Hal itu selain memberatkan beban pemerintah, mengingat tidak mudah dan murah untuk mengawasi JM dengan berbagai spefikasi bidang dan lapangan usaha, juga menihilkan berbagai upaya restrukturisasi dan privatisasi parsial yang telah dilakukan. Sebab, bukankah salah satu tujuan restrukturisasi dan privatisasi parsial selama ini ialah menyerahkan sebagian tanggung jawab dan biaya pengawasan kepada pasar ?
Terakhir, korporatisasi selain tidak menjamin bebas intervensidari "mereka" yang mempunyai kepentingan tertentu di negeri ini, hal ini akan menimbulkan permasalahan ekonomi politik baru. Korporatisasi dan pembentukan induk di JM bisa mengakibatkan terkooptasinya kementerian BUMN dan pihak legislatif (DPR/DPRD) sebagai penetap berbagai perundang-undangan bila tidak diwaspadai.
Fenomena itu dikenal sebagai regulatory capture dan bisa terjadi bila pengelola perusahaan induk di JM, sebagai pihak yang lebih mengetahui duduk persoalan dan detail kondisi JM di intervensi untuk memanipulasi kalangan birokrat di kementerian BUMN serta pihak legislatif untuk membuat peraturan yang akan menguntungkan tujuan "mereka", walau merugikan rakyat dan negara.
Praktik tersebut, setidaknya pada kalangan DPR, berpeluang cukup besar mengingat masih kurangnya lembaga pendukung wacana di industri jalan tol pada anggota legislatif. Selain itu, seperti ditengarai banyak pihak, maraknya budaya amplop dalam berbagai sidang komisi disebabkan rentannya anggota dewan terhadap penyuapan.
Karena itu, patut diduga upaya penyehatan JM melalui pembentukan holding company bukan hanya akan gagal, tapi juga bisa menjerumuskan. Sebab, selain sukar menciptakan satu struktur insentif dan mekanisme pengawasan yang sempurna, juga karena lemahnya institusi pendukung seperti hukum dan politik.
Jadi, bila pemerintah berkeras mengadopsi strategi tersebut, setidaknya proses privatisasi terhadap masing - masing ruas tol yang telah dioperasikan harus tetap dilakukan. Sebab, meski privatisasi terhadap ruas - ruas tersebut mungkin kompleks dan sarat berbagai isu, bila diimplementasikan dengan benar, sejatinya itu masih merupakan solusi paling tepat untuk persoalan JM yang masih menjerat.
Terkait dengan artikel ini diharapkan Direksi baru yang akan menempati posisinya di JM berasal dari kalangan dalam yang lebih memahami JM secara detail. Setidaknya hal positif yang bisa dilakukan oleh Direksi tersebut adalah lebih memahami karyawan dan budaya korporat yang ada di JM.
Insya Allah bermanfaat.........