JALAN TOL DAN DIVERSIFIKASI ENERGI
Written by Heri Susanto on Sabtu, Mei 24, 2008Inefisiensi BBM
Kebijakan pemerintah untuk menaikan harga BBM selalu melahirkan kontoversi di masyarakat. Namun, apakah perspektif Pemerintah untuk menyelamatkan APBN dapat dibenarkan.? Kebijakan tanpa menyentuh akar permasalahan dari krisis energi akan selalu melahirkan kontroversi.
Adanya perbedaan yang mencolok antara konsumsi BBM yang disinyalir sudah mencapai 1,2 juta barel per hari sementara produksi minyak domestik hanya 980 ribu barel per hari. Jika tidak ingin APBN kebobolan seharusnya pemerintah melakukan diversifkasi dan efisiensi energi secara besar – besaran.
Salah satu hal yang menyebabkan inefisiensi BBM yang paling signifikan adalah problem kemacetan di jalan. Pada saat kemacetan terjadi dapat dibayangkan adanya ribuan liter BBM yang terbakar sia-sia. Pemerintah memang telah mengakui keterbatasannya untuk menyediakan infrastruktur jalan sehingga mendorong swasta ikut berperan. Alokasi dana pemerintah yang digantikan oleh peran swasta dalam membangun tol, pada gilirannya digunakan pemerintah membangun jalan di pedesaan. Untuk memeratakan pembangunan, demi kesejahteraan saudara-saudara kita di pedalaman dan pelosok.
Penyesuaian Tarif Tol
Secara kasat mata kita tahu bahwa kebijakan industri jalan tol yang selama ini di payungi oleh UU No. 38/2004 tidak sepenuhnya dapat memecahkan permasalahan penyediaan jalan di negeri ini. Walaupun UU ini bertujuan untuk menarik minat investor untuk meramaikan kompetisi penyediaan jalan tol namun dalam pelaksanaannya masih terkendala oleh tidak tegasnya BPJT dan penyediaan lahan yang masih compang camping. Apalagi ditambah satu hal tentang penyesuaian tariff yang selalu tidak pasti.
Intinya, "Evaluasi dan penyesuaian tarif tol dilakukan tiap 2 (dua) tahun sekali oleh Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) didasarkan pada tarif lama, yang disesuaikan pengaruh inflasi dengan formula: tarif baru = tarif lama (1 + Inflasi)".
Laju inflasi sebagai acuan penyesuaian tarif tol, didasarkan pada data inflasi Badan Pusat Statistik (BPS). Bagi dua ruas tol itu, penyesuaian tarif tolnya sekitar 12 persen. Patut ditegaskan, persentase kenaikan tarif tol tidak ditentukan Jasa Marga sebagai investor tol, melainkan didapat dari BPS.
Kebijakan pemerintah untuk menaikan harga BBM selalu melahirkan kontoversi di masyarakat. Namun, apakah perspektif Pemerintah untuk menyelamatkan APBN dapat dibenarkan.? Kebijakan tanpa menyentuh akar permasalahan dari krisis energi akan selalu melahirkan kontroversi.
Adanya perbedaan yang mencolok antara konsumsi BBM yang disinyalir sudah mencapai 1,2 juta barel per hari sementara produksi minyak domestik hanya 980 ribu barel per hari. Jika tidak ingin APBN kebobolan seharusnya pemerintah melakukan diversifkasi dan efisiensi energi secara besar – besaran.
Salah satu hal yang menyebabkan inefisiensi BBM yang paling signifikan adalah problem kemacetan di jalan. Pada saat kemacetan terjadi dapat dibayangkan adanya ribuan liter BBM yang terbakar sia-sia. Pemerintah memang telah mengakui keterbatasannya untuk menyediakan infrastruktur jalan sehingga mendorong swasta ikut berperan. Alokasi dana pemerintah yang digantikan oleh peran swasta dalam membangun tol, pada gilirannya digunakan pemerintah membangun jalan di pedesaan. Untuk memeratakan pembangunan, demi kesejahteraan saudara-saudara kita di pedalaman dan pelosok.
Penyesuaian Tarif Tol
Secara kasat mata kita tahu bahwa kebijakan industri jalan tol yang selama ini di payungi oleh UU No. 38/2004 tidak sepenuhnya dapat memecahkan permasalahan penyediaan jalan di negeri ini. Walaupun UU ini bertujuan untuk menarik minat investor untuk meramaikan kompetisi penyediaan jalan tol namun dalam pelaksanaannya masih terkendala oleh tidak tegasnya BPJT dan penyediaan lahan yang masih compang camping. Apalagi ditambah satu hal tentang penyesuaian tariff yang selalu tidak pasti.
Intinya, "Evaluasi dan penyesuaian tarif tol dilakukan tiap 2 (dua) tahun sekali oleh Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) didasarkan pada tarif lama, yang disesuaikan pengaruh inflasi dengan formula: tarif baru = tarif lama (1 + Inflasi)".
Laju inflasi sebagai acuan penyesuaian tarif tol, didasarkan pada data inflasi Badan Pusat Statistik (BPS). Bagi dua ruas tol itu, penyesuaian tarif tolnya sekitar 12 persen. Patut ditegaskan, persentase kenaikan tarif tol tidak ditentukan Jasa Marga sebagai investor tol, melainkan didapat dari BPS.
”Penyesuaian tarif tol harus dipahami sebagai janji pemerintah terhadap industri tol, bukan merupakan kehendak investor tol saja. Janji ini sebaiknya dipenuhi bila pemerintah menginginkan tetap kondusifnya industri tol. Investor tol pun menegaskan, penyesuaian tarif tol tidak layak diperdebatkan karena telah menjadi hak investor untuk menunjang keberlangsungan bisnis ini. Perdebatan mengenai ”angka” dalam industri ini bukan pada penyesuaian tarif, melainkan dalam menentukan tarif awal tol.
Untuk menentukan tarif awal tol, dihitung berbagai komponen mulai dari biaya pembangunan berikut biaya bunga, investasi baru seperti penambahan lajur, pembuatan gerbang tol baru, pengaspalan ulang, hingga pembelian peralatan tol. Dihitung pula masa konsesi, asumsi inflasi, lalu lintas, hingga perkiraan pengembalian modal atau internal rate of return .
Kata kunci dari penyesuaian tarif tol adalah “peningkatan pelayanan”. Sebab dari tiap rupiah yang dibayarkan, akan dikembalikan dalam bentuk pemeliharaan agar pengguna tol nyaman.
Pemeliharaan yang dikerjakan, diantaranya pelapisan ulang aspal jalan tol, penutupan lobang-lobang di jalan tol, hingga pemagaran kembali jalan tol akibat dicurinya pagar-pagar tol oleh warga sekitar.
Jalan tol harus dipelihara bukan hanya karena pengguna tol telah membayar, tetapi karena memang merupakan kewajiban operator yang juga diatur dalam Undang-Undang. Di Indonesia telah terjadi pergeseran fungsi. Tol bukan lagi sekedar jalan alternatif namun telah menjadi jalan utama.
Perannya sebagai jalan utama, membuat jalan tol telah menjadi “tulang punggung” perpindahan manusia maupun barang. Bila anda ingin ke Bandara Soekarno-Hatta, misalnya, jalan tol akan menjadi jalur utama, demikian pula bila ingin ke Bandung.
Jalan tol memang menjadi pilihan utama, bila warga ingin lebih cepat berpindah tempat. Perjalanan pun lebih hemat sebab konsumsi bahan bakar saat melintasi ruas tol lebih rendah, karena minim pengereman dan akselerasi. Suspensi pun lebih tahan lama, karena tidak ada lobang di jalan tol. Ini efisiensi bagi pemilik kendaraan.
Tidak kalah penting dari pergerakan manusia, adalah pergerakan barang. Tol Jakarta-Cikampek, misalnya menjadi urat nadi infrastuktur jalan dari kawasan industri ke pelabuhan Tanjung Priok.
Bila tarif tol tidak disesuaikan kemudian pemeliharaan berkurang sehingga terjadi kerusakan pada ruas tol di sana-sini, apa jadinya dengan daya saing produk Indonesia? Sebab barang-barang itu harus tiba di pelabuhan tepat waktu, dikapalkan tepat waktu, dan tiba di tangan pembeli tepat waktu. Hal ini jelas akan mengakibatkan kemacetan dimana- mana yang akan mengakibatkan inefisiensi BBM.
Diversifikasi Energi
Pengguna jalan tol merupakan konsumen BBM yang cukup besar, namun penggunaan BBM yang sumbernya tidak dapat diperbaharui harus di hemat. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan penyelenggara jalan tol untuk melakukan diversifkasi dari energi, namun masih terkendala oleh UU.
Salah satu contoh yang dapat dilakukan adalah dengan membangun energi listrik dengan sumber daya matahari yang sangat melimpah di negeri ini.
Kita ambil contoh Jasa Marga sebagai leader dalam industri jalan tol yang mengelola +/- 490 km dapat membentangkan solar sel sepanjang 1470 km.
(Jalur A + Median + Jalur B) = (490 + 490 + 490 ) = 1470 km.
Jumlah listrik yang dihasilkan oleh tenaga matahari sangat besar untuk konsumsi perumahan rakyat dan Industri disepanjang jalan tol sehingga BBM yang selama ini digunakan untuk pembangkit listrik dapat dialihkan ke konsumen yang lebih membutuhkan.
Saya yakin sumber daya manusia yang ada di Jasa Marga dapat mewujudkan hal ini dengan menggandeng BPPT serta BUMN yang terkait dengan Energi. Diversifikasi ini dapat terwujud jika adanya good will dari Pemerintah dan DPR untuk mereformasi beberapa UU yang terkait dengan hal tersebut di atas.
Insya Allah