KONGRES SKJM DAN ILUSI DEMOKRASI
Written by Heri Susanto on Sabtu, Maret 29, 2008Artikel ini hanya untuk wacana, Keputusan dalam pemahaman ada di masing-masing pembaca.
Kongres SKJM dianggap sebagai corong utama demokrasi karena melibatkan partisipasi Karyawan seperti yang di amanatkan dalam Azas Organisasi SKJM. Namun demikian, apabila ditelaah lebih lanjut, partisipasi ini ternyata hanyalah sebuah ilusi dari demokrasi, karena karyawan tidak pernah bisa benar-benar menentukan jalannya kinerja organisasi SKJM. Ini bisa dipahami karena Demokrasi Perwakilan bukanlah sebuah konsep yang sui generis. Bahkan, konsep “perwakilan” pada hakekatnya merupakan konsep feodal.
Hakekat Demokrasi
Demokrasi adalah konsep yang sangat tua yakni Abad ke 6 sebelum Masehi sampai dengan pertengahan abad ke 4 sebelum Masehi dan di praktekkan di polis-polis (Negara kota) di Athena dan sekitarnya. “People” dalam konteks Yunani Kuno adalah warga Negara laki-laki. Budak, warga pendatang dan wanita tidak tergabung memiliki hak pilih.
Di Polis-polis itu, seluruh warga negara laki-laki berkumpul di ruang lapang membentuk Assembly dan menetapkan suatu keputusan (sebagai rujukan, pada abad ke 6 populasi di Athena adalah 300.000 orang). Voting diambil dengan cara manual, dimana penyelenggara meminta warga Negara yang menyetujui suatu pilihan-- katakanlah “pilihan A”-- untuk pindah ke sisi sebelah kanan. Kadang-kadang, kotak suara juga dipergunakan dalam pemilihan .
Jadi demokrasi di Athena merupakan sebuah direct democracy dimana seluruh warga Negara yang memiliki hak pilih menyuarakan secara langsung aspirasinya. Elected Officials tidak memutuskan masalah publik. Bagi orang Yunani Kuno, memilih segelintir orang dan kemudian memberinya mandat untuk memutuskan kepentingan umum adalah Oligarchy. Demokrasi, bagi mereka, adalah kesejajaran dalam memberikan keputusan.
Bagi filsuf seperti Aristoteles, demokrasi seperti yang kita alami sekarang, dimana kita memilih orang-orang untuk diberi mandat mengurusi kehidupan publik bukanlah demokrasi sama sekali.
Demokrasi Perwakilan
Demokrasi yang dikenal sekarang adalah perpaduan dari dua konsep yang sama sekali berbeda. Pertama, konsep demokrasi (demos dan cratein) yang memang berakar dari tradisi Yunani Kuno dan Kedua, konsep representasi yang berakar dari sistem feodal. Kedua hal ini menghasilkan apa yang disebut dengan Representative Democracy atau demokrasi perwakilan.
Dalam masyarakat feodal, tanah hanya dimiliki oleh para bangsawan. Sedangkan, rakyat jelata dianggap menyewa tanah dan diharuskan memberi upeti atas hasil garapan tanah tersebut. Konsep representasi timbul ketika kalangan rakyat jelata (peasant) protes karena kaum bangsawan menaikkan pajaknya (biasanya untuk biaya peperangan). Karena tidak mungkin mereka semua bicara satu persatu dengan sang raja, terpaksa aspirasi mereka harus disalurkan lewat wakil-wakilnya (representatives). Proses tawar menawar mereka dengan bangsawan kemudian menjadi lembaga perwakilan (representation). Dalam perkembangan selanjutnya, lembaga ini berkembang menjadi salah satu kamar dalam parlemen negara-negara, seperti kelihatan nyata-nyata dalam parlemen tertua di dunia, yakni House of Commons dalam Parlemen Inggris.
Dengan ilustrasi di atas maka penggabungan dua konsep ini sebenarnya melahirkan “ilusi demokrasi”. Ilusi demokrasi ini dapat terjadi dalam kongres SKJM. Yang dimaksud dengan “ilusi demokrasi” di SKJM adalah perasaan keikutsertaan seluruh karyawan terhadap kinerja organisasi SKJM karena mereka telah berpartisipasi dalam Kongres untuk Menilai dan meminta pertanggung jawaban DPP SKJM, Menilai pelaksanaan peraturan perusahaan yang merupakan Kesepakatan Kerja Bersama dan penyempurnaannya, Menetapkan atau mengubah AD dan ART, Menetapkan Program Kerja dan Program Umum, Memilih, mengangkat dan memberhentikan Ketua Umum dan atau Sekertaris Jenderal.
Pada umumnya, karyawan beranggapan bahwa setelah ikut Kongres, mereka telah menentukan jalannya kinerja organisasi SKJM. Padahal, pada kenyataannya aspirasi karyawan akan selalu mengalami distorsi. Pada demokrasi perwakilan yang akan kita praktekkan dalam kongres SKJM 2008, logikanya 1 orang dipilih untuk mewakili –misalnya-- 100 konsituennya. Artinya, 1 orang karyawan yang berhak hadir di kongres tersebut seharusnya bisa menyerap dan menyuarakan aspirasi dari sejumlah 100 orang karyawan.
Pada prakteknya, kita tidak pernah sekalipun mendengar bahwa secara faktual, aspirasi dari 100 orang tersebut disalurkan kepada wakilnya. Tidak pernah, seorang karyawan yang hadir di kongres sebagai utusan organisasi tingkat cabang ketika akan membuat kebijakan dan peraturan organisasi SKJM, kembali kepada daerah pemilihannya dan menanyakan kepada konstituennya, apakah para pemilihnya itu menyetujui pasal-per-pasal apa dari rancangan kebijakan dan peraturan organisasi SKJM yang akan di sah kan itu. Realitanya, mereka hanya akan duduk untuk membahas berbagai hal di ruangan rapat – rapat pembahasan tentang Serikat Pekerja dan mengasumsikan bahwa karyawan yang mereka wakili menyetujui apa-apa yang mereka bahas. Suara satu orang perwakilan karyawan yang hadir di kongres dianggap sebagai penjelmaan dari suara 100 karyawan pemilihnya. Padahal, apabila ditanyakan kepada karyawan yang diwakili, belum tentu mereka setuju terhadap apa-apa yang tertulis dalam kebijakan dan peraturan organisasi SKJM.
The Ruling Class
Gaetano Mosca menggambarkan secara jelas gejala ini dalam bukunya The Ruling Class. Menurutnya, dalam struktur masyarakat selalu ada dikotomi antara yang diatur dan yang mengatur. Kelas yang mengatur, The Ruling Class, baik berupa golongan bangsawan pada zaman foedal atau elit politik dan pemilik modal pada zaman demokrasi modern selalu berjumlah lebih sedikit dan lebih pintar daripada kelas yang diatur. Sebaliknya, kelas yang diatur selalu berjumlah lebih banyak.
Kelas yang diatur adalah kelas yang selalu dijadikan pion dalam mempertahankan kekuasaan. Pada zaman feodal mereka merupakan kalangan prajurit rendahan dan petani. Prajurit hidup dari gaji dan petani hidup dari tanah garapannya. Kelas yang mengatur (the ruler) pada zaman feodal menyebarkan propaganda kekuasaan dalam bentuk legenda, mitologi dan bahkan agama formal. Caranya adalah dengan membuat kepercayaan bahwa raja dan bangsawan merupakan keturunan, atau titisan dari dewa-dewa tertentu. Dengan menyebarkan paham demikian, kalangan bangsawan dan kerajaan akan memperoleh legitimasi kekuasaan. Rakyat yang diperintahnya memang ditanamkan untuk bersikap inferior terhadap keluarga kerajaan, karena menentang kerajaan berarti menentang keyakinan mereka sendiri.
Pada zaman demokrasi modern, kelas yang diatur adalah kalangan buruh dan pekerja. Eksploitasi yang dilakukan kalangan elit atas buruh dan pekerja secara jelas diterangkan oleh Marx dalam karya-karyanya, yang kurang relevan apabila dibahas disini. Yang jelas, faktor-faktor Ruling Class seperti yang terjadi pada masyarakat feodal tetap dapat ditemukan pada masyarakat demokrasi modern. Salah satunya adalah faktor keturunan (hereditary). Seperti halnya pada masyarakat feodal yang memperoleh status ruler karena keturunan, pada masyarakat demokrasi modern pun banyak dijumpai individu-individu yang memasuki kancah perpolitikan karena hal ini. Memang, dalam masyarakat demokrasi modern, faktor keturunan bukanlah faktor langsung yang menentukan seperti dalam masa feodal. Artinya, apabila bapaknya presiden, tidak otomatis anaknya menjadi presiden. Tapi, faktor keturunan mengambil bentuk yang lain, yakni timbulnya dinasti-dinasti politik. Hampir di semua negara terdapat dinasti-dinasti politik. Dinasti Bush dan Kennedy di Amerika, Dinasti Gandhi di India, Dinasti Bhutto di Pakistan, Dinasti Aquino di Filipina dan Dinasti Soekarno-Wahid di Indonesia.
Ilusi Demokrasi dalam Kongres SKJM 2008
Menghadapi Kongres untuk Pemilihan Ketua Umum DPP SKJM 2008, instrument yuridis yang dipergunakan adalah AD/ART SKJM 2005. Dalam AD/ART SKJM 2005 tersebut, “Ilusi demokrasi” dan kemungkinan distorsi aspirasi terlihat sangat jelas.
Pertama, dengan adanya otoritas yang diberikan Anggaran Rumah tangga Pasal 8, DPC yang akan mensortir orang-orang yang mereka anggap “layak”. Dewan Pimpinan Cabang akan mensortir sederetan nama (biasanya dengan kriteria orang yang menjadi utusan Organisasi tingkat cabang dianggap mengetahui kinerja SKJM ) dan menyuguhkan nama-nama tersebut sebagai “daftar menu” bagi pemilih di arena Kongres. Jadi, pemilih hanya bisa memilih menu yang ada dalam daftar. Seringkali konstituen terheran-heran ketika tokoh karyawan yang idealis ternyata tidak ada dalam “daftar menu”.
Kedua, kemungkinan terjadi setelah penghitungan suara, calon yang mendapatkan suara banyak pada pemilhan calon utusan, kemudian “digeser” oleh DPC dan digantikan oleh calon yang dinilai lebih kompeten.
Sebagai contoh, Anggaran Dasar Pasal 12 dan tidak mengatur mengenai pencalonan karyawan yang berhak hadir di kongres.
Anggaran Dasar Pasal 12 butir (2) hanya mengatur tentang kekuasaan kongres yang terdiri dari :
a. Menilai dan meminta pertanggung jawaban DPP;
b. Menilai pelaksanaan peraturan perusahaan yang merupakan Kesepakatan Kerja Bersama
dan penyempurnaannya
c. Menetapkan atau mengubah AD dan ART;
d. Menetapkan Program Kerja dan Program Umum;
e. Memilih, mengangkat dan memberhentikan Ketua Umum dan atau Sekertaris Jenderal.
c. Menetapkan atau mengubah AD dan ART;
d. Menetapkan Program Kerja dan Program Umum;
e. Memilih, mengangkat dan memberhentikan Ketua Umum dan atau Sekertaris Jenderal.
Anggaran Rumah tangga Pasal 7 tentang Hak Suara dalam Musyawarah,
butir 1 : Yang mempunyai hak suara dalam kongres adalah utusan organisasi tingkat cabang
Anggaran Rumah tangga Pasal 8 tentang Jumlah Peserta
butir 1 : Jumlah peserta dalam Kongres disesuaikan dengan kebutuhan organisasi dengan memperhatikan komposisi 100 (seratus ) orang 1 (satu) wakil dan atas sisa apabila lebih dari 50 (lima puluh) orang dihitung 1 (satu) wakil.
Mungkin, kalau ada istilah yang cocok untuk menamai gejala ini, adalah two tier representative democracy.
Perwakilan pertama adalah “mandat” dari konstituen untuk DPC dalam rangka memilih para karyawan yang menurut kebijaksaaan mereka patut masuk kedalam daftar menu dalam utusan organisasi tingkat cabang.
Perwakilan kedua adalah “mandat” dari konstituen kepada wakil karyawan terpilih, untuk membuat berbagai peraturan dan kebijakan SKJM yang menurut kebijaksanaan mereka diperlukan dan berakibat baik bagi karyawan banyak.
Semakin banyak jenjang “mandat-mandat” dan semakin banyak jenjang “perwakilan”, aspirasi karyawan akan semakin terdistorsi. Dalam two tier representative democracy tadi, distorsi aspirasi pertama terjadi ketika pilihan karyawan dibatasi oleh kebijaksanaan DPC dan distorsi kedua terjadi ketika setelah terpilih wakil karyawan menjadi “baby sitter” bagi konstituennya.
Dalam menyikapi hal tersebut di atas, Alangkah baiknya jika diadakan Rapim untuk mengatur bahwa pencalonan karyawan yang berhak hadir di kongres sebagai utusan organisasi tingkat cabang harus melalui mekanisme pemilihan secara langsung oleh karyawan.
Beberapa Alternatif Jalan Keluar
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah mungkin melaksanakan demokrasi perwakilan di SKJM tanpa distorsi ?
Kompensasi atas Demokrasi Perwakilan: Channeling Aspirasi
Demokrasi perwakilan tidak mungkin dapat dilaksanakan tanpa distorsi. Power tends to corrupt. Ketika para wakil karyawan sudah duduk di kongres, maka mereka memiliki kepentingan yang relatif berbeda dari kepentingan yang diwakilinya. Seringkali, mereka berpendapat bahwa mereka lebih mengetahui apa yang terbaik untuk para pemilihnya. Hal ini akan mendistorsikan aspirasi.
Namun demikian, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan untuk meminimalisir distorsi aspirasi tersebut.
Diantaranya yang menjadi pilar utama demokrasi SKJM adalah hal-hal berikut ini:
Inisiatif. Salah satu warisan penting demokrasi langsung Yunani Kuno adalah inisiatif. Karyawan menentukan sendiri hal-hal apa penting bagi mereka dan hal-hal apa yang mereka lakukan. Jadi, karyawan tidak semata-mata mempercayakan hajat hidup kepada wakil karyawan dan menyerahkan inisiatif kinerja organisasi SKJM bagi mereka. Contoh Inisiatif dilakukan di Swiss, baik pada tingkat federal perkotaan (cantonal). Inisiatif juga dilaksanakan di Amerika Serikat baik pada tingkat federal, propinsi maupun kota sejak tahun 1777.
Referendum adalah kunci utama dalam semi-direct democracy dan merupakan satu satunya mekanisme dalam demokrasi langsung. Melaksanakan kinerja organisasi SKJM dengan referendum memiliki keuntungan dan kerugian. Keuntungannya, aspirasi karyawan dapat diserap secara jelas oleh Pengurus SKJM. Kerugiannya, referendum dapat menciptakan kinerja yang tidak konsisten. Referendum juga tidak dirasa efisien untuk hal-hal yang bersifat teknis. Oleh karena itu, di banyak sistem demokrasi yang melaksanakan referendum hanya dibatasi pada masalah-masalah yang sangat fundamental, seperti perubahan Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.
Recall. Mekanisme recall merupakan pilar ketiga demokrasi modern. Recall adalah mekanisme penggantian seorang wakil karyawan dari jabatannya di kepengurusan SKJM oleh para konstituennya sebelum masa jabatannya usai.
Promulgasi
Satu hal lagi yang harus dilakukan untuk mengkompensasi distorsi aspirasi dalam Demorasi Perwakilan adalah lembaga Promulgasi.
Pada awalnya, lembaga promulgasi memberikan efek psikologis kepada karyawan akan berlakunya suatu peraturan tertentu. Promulgasi ada karena terdapat fiksi hukum bahwa semua orang dianggap tahu akan berlakunya hukum.
Untuk mengkompensasi hal ini, pengurus SKJM harus dengan segala kemampuannya mengumumkan pemberlakuan peraturan organisasi dan kebijakan tertentu. Promulgasi adalah kewajiban moral pengurus SKJM.
Untuk mengkompensasi hal ini, pengurus SKJM harus dengan segala kemampuannya mengumumkan pemberlakuan peraturan organisasi dan kebijakan tertentu. Promulgasi adalah kewajiban moral pengurus SKJM.
Kira-kira, promulgasi itu sama dengan ketika para pengawal raja pada zaman kolonial pergi ke tengah pasar, membunyikan terompet dan membuka gulungan kertas serta mengumumkan titah raja kepada khayalak ramai.
Dalam kasus Indonesia, Promulgasi diinkorporasi kedalam Lembaga Berita Negara lewat UU Darurat No. 2 Tahun 1950 tentang penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia. Disetiap akhir Undang-Undang, selalu terdapat kata-kata agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan penempatan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Pasal 2 UU Darurat No. 2 Tahun 1950 memerintahkan agar Lembaran Negara (State Gazette) dibuat dalam kertas Oktavo dan Berita Negara (State Report) dibuat dalam ukuran folio. Pasal 3 nya mengharuskan agar LNRI ini dikirimkan ke alat-alat Negara lainnya. Maksud dari kedua pasal ini adalah jelas, agar khayalak ramai mengatahui hukum-hukum apa saja yang telah ditetapkan. Karena pada prinsipnya, pemberlakuan setiap undang-undang adalah pengurangan hak bagi warga Negara.
Praktek Promulgasi sudah ada di dalam Pasal 76 PKB SKJM 2005 – 2008 tentang pembagian buku PKB. Namun hal ini perlu tindakan yang konsisten dengan membentuk jaringan organisasi kehumasan SKJM yang solid.
Anarkisme
Berlainan dengan anggapan umum bahwa anarkisme adalah keadaan kacau balau, a-narchos berarti tanpa penguasa. Dalam filosofi anarkisme, istilah ini dipergunakan secara positif untuk menggambarkan masyarakat tanpa penguasa dan tanpa hukum yang segala sesuatunya diusahakan bersama secara sukarela.
Kaum anarkis menolak mentah-mentah Demokrasi Perwakilan (lebih jauh lagi, mereka menolak Negara). Alasannya, mereka menolak adanya external authority diluar diri mereka. Parlemen dan Anggotanya adalah external authority.
Hal yang penting dari anarkisme adalah karena anarkisme mengkonsepsikan suatu masyarakat yang teratur tanpa harus dipaksakan oleh hukum. Hukum adalah suatu bentuk paksaan, dan apabila masyarakat bisa teratur tanpa hukum tentu menjadi sebuah civil society. Argentina 2001-2002, Revolusi Hungaria dan Revolusi Spanyol sering disebut sebagai contoh keberhasilan anarkisme.
Selain kritiknya atas demokrasi perwakilan, hal baik yang dapat kita ambil dari anarkisme adalah dukungannya terhadap demokrasi langsung. Hampir sama dengan Yunani Kuno Abad ke-4, kaum anarkis menyokong demokrasi langsung hanya saja, tidak seperti Yunani Kuno, tanpa diskriminasi. Sistem yang dipergunakan adalah Consensus Decision Making.
Dalam musyawarah untuk mufakat (consensus decision making) masyarakat duduk bersama dan membicarakan masalahnya. Keputusan diambil bukan berdasarkan suara terbanyak melainkan berdasarkan pendapat ilmiah atas riset. Menurut para pendukungnya, kekuatan daripada sistem ini adalah kondisi ketidak berpihakan dan penggunaan rasio serta pengetahuan atas fakta-fakta yang relevan. Semakin kondisi ini terpenuhi, semakin tinggi nilai kebenaran moral suatu keputusan yang diambil. Diskusi dipimpin oleh seorang fasilitator yang tidak bertindak sebagai pemimpin, dan tidak pula membawa diskusi ke arah tertentu. Mungkin, deliberative democracy itu sama dengan musyawarah para Ent di sebuah lembah di hutan Derndingle pada film Lords of the Rings, The Two Towers.
Kritik bagi sistem ini adalah lamanya pengambilan keputusan. Sistem ini juga tidak akan jalan apabila taraf intelektual masyarakatnya rendah.
Namun demikian, consensus decision making bisa diterapkan dengan menggunakan teknologi. Open Directory Project http://www.dmoz.org adalah komunitas yang menentukan bagaimana sebaiknya internet di indeks. Dalam memutuskan website mana yang terindeks, mereka menggunakan consensus decision making. Wikipedia, http://www.wikipedia.org situs ensiklopedi terbesar, juga menggunakan consensus decision making. Ketika netralitas content diperdebatkan, mereka menaruh symbol NPOV (neutrality point of view) dan mendebatkan dahulu sampai tuntas content yang bersangkutan. Kalau disetujui, baru diupload.
Proyek-proyek open source seperti freesoftware movement,GNU/Linux, dan Usenet atau situs tukar lagu menggunakan consensus decision making ketika mengambil keputusan. Bagi kaum Sosialis Liberal (salah satu cabang “anarkisme”) informasi bukanlah komoditi perdagangan. Mereka menginginkan informasi bagi semua orang, gratis. Di Internet, komunitas-komunitas demokrasi langsung, tanpa external authority, tanpa ruling class, dimana semua diperlakukan sama tumbuh berjamuran. Kalau melihat perkembangan ini, kelihatan sekali bahwa kaum anarkis sudah semakin mendapatkan realisasi dari impiannya, walau baru di internet.
Kesimpulan
Demokrasi Perwakilan memiliki dampak yang tidak terhindarkan berupa terdistorsinya aspirasi karyawan. Ini adalah resiko menggunakan sistem itu.
Kecuali, kita mau menggunaan sistem lain, dan mengimplementasikan direct democracy, yang dengan keterbatasan sumber daya manusia serta teknologi yang dimiliki SKJM dirasa tidak mungkin. Alternatif kedua adalah menggunakan sistem semi direct democracy, dengan memperbanyak referendum untuk pengambilan keputusan. Tapi sistem ini bisa mengakibatkan voter’s fatigue karena pemilih harus bolak balik ke TPS. Mungkin ketika seluruh karyawan yang memiliki hak pilih punya internet, system ini bisa dipakai, tetapi dengan kondisi saat ini, dirasa tidak mungkin. Alternatif ketiga adalah memboikot kongres supaya kinerja organisasi SKJM yang baru mendapat suara yang sangat minimal sehingga kinerja organisasi SKJM tidak mendapat legitimasi dan tidak efektif dengan maksud menciptakan masyarakat anarki. Tetapi eksperimen ini hanya akan menyulut perpecahan di antara karyawan.
Pendeknya, untuk beberapa tahun ke depan mungkin kita tidak punya banyak pilihan lain kecuali “demokrasi perwakilan”. Tetapi, setidak-tidaknya, untuk mengkompensasi distorsi aspirasi, “channeling” seperti inisiatif, referendum terbatas dan recall harus benar-benar difungsikan. yang tidak kalah pentingnya juga optimalisasi lembaga Promulgasi.
Sebenarnya, biaya untuk mempublikasikan peraturan di internet yang dapat diakses umum secara gratis tidaklah terlalu mahal. Dan ini sudah menjadi kewajiban moral pengurus SKJM. Namun sayang, lembaga ini kurang berfungsi. Dengan tidak berfungsinya lembaga Promulgasi, maka distorsi Demokrasi Perwakilan bertambah satu lagi, menjadi tiga.
Pertama, karyawan hanya memilih apa yang ada dalam “daftar menu” kongres,
Kedua karyawan tidak bisa langsung berpartisipasi menyetujui peraturan dan kebijakan organisasi SKJM dan hanya bisa berharap agar wakil karyawan diberikan bimbingan Tuhan dalam melihat apa yang terbaik bagi karyawannya.
Ketiga, setelah peraturan dan kebijakan organisasi SKJM di sah kan, karyawan tahu namun tidak memahaminya secara detail.
Jika Ini terjadi maka akan menyedihkan karena kita tidak benar-benar memilih karyawan yang membuat hukum, tidak terlibat dalam pembuatan hukum dan tidak tahu hukum apa yang mengikat kita. Benar apa kata Mosca, orang – orang yang mengatur (Ruling Class) selalu lebih sedikit dan lebih pintar, sedangkan kelas yang diatur selalu lebih banyak.
(Artikel tentang Implementasi dari Demokrasi diambil dari http://www.wikipedia.com, dengan sedikit perubahan dan penyesuaian yang tidak mengurangi inti yang ingin disampaikan)