Mewujudkan Karyawan Jasa Marga Untuk Menjadi “Partner in profit and progress”

Written by Heri Susanto on Kamis, Juni 12, 2008

Saya sering kali mengamati cara para manajer mendidik para pemimpin masa depan di Jasa Marga. Sebagian dari “Mereka” ada yang cenderung masih menggunakan pola atasan - bawahan atau dengan gaya guru - murid. Seharusnya dengan makin berkembangnya Jasa Marga maka para manajer harus dapat mengkombinasikan pola experimental-experiential-explorential gaya bebas yang mengacu kepada daya serap skill, knowledge, dan wisdom.

Apalagi jika pola ini yang tersebut di atas didukung dengan akses internet berkecepatan tinggi dan password untuk membuka kunci pengetahuan yang membayar, bukan gratisan. Sebuah angkatan kerja dengan “three lever” yang lengkap mulai dari pendidikan formal yang andal, pendidikan keterampilan di perusahaan yang berkesinambungan, dan pendidikan inisiatif sendiri dengan akses internet dan kolaborasi global yang “instan”. Hasilnya, Karyawan Jasa Marga profesional yang sangat kompeten di setiap jenjang.

Karyawan Jasa Marga dengan kompetensi seperti itu tentu tak gampang diajak demonstrasi berhari-hari hanya untuk menuntut kenaikan gaji sebesar dampak dari kenaikan BBM. Tak mudah diperintah dengan sebuah kata pembuka “Pokoknya lakukan”. Tak mudah diperdaya dengan perbedaan skala gaji yang tertinggi dan terendah sampai puluhan kali. Tak gampang dibuai dengan bonus akhir tahun yang besar untuk melakukan jungkir balik pembukuan yang terkesan menimbulkan laba, atau merekayasa mata anggaran agar terlihat adanya efisiensi . Tak gampang menerima uraian panjang lebar tentang promosi yang tak berdasarkan kompetensi. Interaksi antarpribadi dalam lingkungan kantor yang didefinisikan sebagai sebuah ruangan dengan empat tembok menjadi makin pudar.

Kalau begitu, gaya kepemimpinan dalam SDM Jasa Marga sudah harus berubah drastis. Karyawan Jasa Marga bukan sekadar human resources, human capital, atau knowledge worker, tetapi harus menjadi “partner in profit and progress”. Sebuah kerja sama antar - dan intermitra yang saling bergantung dan memiliki ketergantungan tinggi. Pengelolaan atas mitra ini memiliki karakteristik kepemimpinan yang amat berbeda dengan yang sekarang dilakukan.

Pertama, organisasi harus menjadi makin flat karena mengandalkan kolaborasi antar mitra dalam proses dan hasil.

Web organization akan menjadi pola standar. Dengan multiskill partner, pembagian tugas akan makin beragam dan disatukan dengan IT system yang terintegrasi. Fungsi pemimpin menjadi kolaborator dan motivator bukan untuk jegal menjegal.

Kedua, karena anggota organisasi adalah mitra, maka budaya yang dibentuk adalah Jasa Marga Ready to serve with smile.

Budaya ini berdasarkan “love”, dan bukan “fear”, seperti layaknya suami-istri dan anak-orang tua. Prinsip “management by love” akan membentuk komunitas mitra, dan bukan dalam konteks organisasi dengan definisi lama. Dalam bahasa John Mackey disebut sebagai “community working together to create value for other people”.

Ketiga, basic organizational unit, bukan departemen, tetapi kelompok kecil yang langsung berhubungan dengan customer atau proses.

Mereka adalah komunitas yang memiliki responsibility and authority tunggal karena menganut asas otonomi. Misalnya, dalam Divisi, Biro atau Organisasi di tingkat Cabang, yang menentukan apa yang harus dilakukan, sumber daya apa yang harus ditambah, sampai apa perlu menambah karyawan untuk diputuskan dalam komunitas sel di unit tersebut. Ini secara sistem akan mempercepat keputusan dalam meningkatkan kepuasan pelanggan dalam arti luas . Koridor tetap harus dijaga untuk kepentingan pengembangan SDM, tetapi dalam rangka penyelarasan, bukan kontrol ketakutan terjadinya power abuse.

Keempat, kompensasi didasarkan atas bagi hasil untuk seluruh anggota kelompok.

Rentang perbedaan gaji tertinggi-terendah menjadi makin kecil, dari TUJUH PULUH LIMA menjadi puluhan dan dalam jangka panjang hanya akan berkisar 25 kali. Malah John Mackey menetapkan rentang hanya 14 kali. Bahkan, karena berprinsip Karyawan Jasa Marga adalah mitra, masing-masing mitra bisa tahu gaji rekan sejawat dalam satu kelompok. Tak ada hal siluman soal gaji. Transparan karena kompetensi terukur rapi. “Fit and proper” dalam kompetensi dilakukan secara “online and real time”.

Nah, dengan empat fenomena tadi, memimpin bidang SDM menjadi lebih sederhana dan bisa fokus pada aspek inovasi, baik inovasi product, process, people (3P), termasuk di dalamnya inovasi strategik dan manajemen yang mengatur interaksi ketiganya bukan pada hal normatif dan administratif yang seakan sudah menjadi tanda dagang seorang manajer.

Apabila kita sempat berselancar lewat internet, kita akan heran, apa iya ? Migrasi konsep ini akan cepat ditangkap oleh karyawan Jasa Marga, dan kalau mereka menuntut hal yang sama, apakah para manajer sudah siap?

Related Posts by Categories



Widget by Hoctro | Jack Book
 
Google
 

LINK