MENGAMATI POST TRUTH DAN HOAX DI MEDIA SOSIAL

Written by Heri Susanto on Jumat, Agustus 19, 2022

MENGAMATI POST TRUTH DAN HOAX DI MEDIA SOSIAL

Oleh : Heri Susanto/05258

Post Truth

Post truth, Frasa yang dipopulerkan tahun 1992 oleh Steve Tesich dalam tulisan berjudul The Government of Lies. 

Dalam artikel yang dipublish di majalah The Nation tersebut, Tesich menulis bahwa “kita sebagai manusia yang bebas, punya kebebasan menentukan ingin hidup di dunia post truth”. Tulisan tersebut merupakan bentuk ungkapan kegelisahan Tesich atas propaganda negara-negara yang terlibat dalam Perang Teluk di awal dekade 90-an. Memang harus diakui propaganda negara-negara yang berseteru saat itu sangat membingungkan publik global. Kebenaran dan kepalsuan menjadi hal yang sulit untuk dibedakan.

Post truth sebagai kondisi dimana fakta tidak terlalu berpengaruh terhadap pembentukan opini masyarakat dibandingkan emosi dan keyakinan personal.

Sederhananya, post truth adalah suatu era dimana kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran. Caranya dengan memainkan emosi dan perasaan netizen. Apakah Indonesia pernah mengalaminya ? Bukan hanya pernah, tapi sudah dan masih mengalaminya. Kasus teranyar tentang Polisi tembak Polisi di Duren Tiga. Kasus ini semakin hingar bingar karena modus, Locus delicti dan Tempus delictinya berganto-ganti dan kasusnya cenderung melebar kemana-mana. Ditambah lagi dengan statemant institusi negara seperti Polri, Kompolnas, LPSK, Komnas HAM yang informasinya tidak konsisten bahkan acapkali bertentangan satu sama lain. Tidak dipungkiri bahwa kasus tersebut adalah salah satu contoh momen masifnya perkembangbiakan post truth di negara ini. 

Ketegasan Kapolri

Kapolri pada saat Press Release Kasus Polisi tembak Polisi menekankan, pengungkapan kasus ini pada dua kata yaitu Transparan dan Akuntabel. Ketegasan Kapolri menyatakan tidak ada kasus tembak menembak antara anggota Polri di Duren Tiga. Kapolri menyatakan itu kasus pembunuhan dan memerintahkan kepada Tim Khusus untuk memerika Irjen FS. Kasus ini berkembang 36 Anggota Polisi diduga terkait kasus etik dan pidana. Sampai dengan tulisan ini dibuat, kasusnya masih di proses Tim Khusus bentukan Kapolri.

Apa Hubungannya Antara Post Truth Dengan Media Sosial ?

Tidak bisa dipungkiri bahwa media sosial membuat informasi menjadi jauh lebih riuh dan bising. Tiap menit ada Foto dan video di Youtube, Tik Tok, Twitter, Facebook atau status baru yang di-update, beredar berita atau berita terbaru atau yang di-renewal, bahkan berita yang beranak pinak. Melalui media sosial yang melintas tanpa batas, video apa saja bisa "bersliweran" di akun platform kita. Satu jam akun kita sign out, sewaktu sign in langsung dipenuhi dengan video-video terbaru. Jadi, putaran informasi saat ini bergerak sangat cepat. 

Putaran gelombang dan ombak inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh kebohongan-kebohongan buatan yang menggiring publik untuk berasumsi bahwa kebohongan tadi adalah kebenaran. Seperti ucapan Joseph Goebbels, salah satu loyalis Hitler, yang manyatakan bahwa “kebohongan yang diceritakan satu kali adalah kebohongan, tapi kebohongan yang diceritakan ribuan kali akan menjadi kebenaran”.

Fenomena post truth pada awalnya dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Namun semakin hari, post truth dipergunakan dalam segala lini isu dan agenda. Terdapat kemiripan antara post truth dengan berita hoax. Baik post truth maupun hoax, biasanya akan dibungkus dengan tajuk berita yang bombastis, abai terhadap data dan fakta, bahkan mungkin memakai data palsu yang tidak jelas kebenarannya. Belum lagi jika ada akun-akun bayaran, yang popular disebut dengan buzzer, yang memang sengaja mengangkat topik itu terus menerus (menyundul), atau berkomentar tentang berita itu yang mengakibatkan pengguna medsos menjadi bingung bahkan percaya akan “kebenaran” berita hoax tersebut.

Makin parahnya lagi, pengguna medsos juga ikut terpengaruh untuk tidak sekadar mempercayai berita bohong itu, namun juga dengan secara sukarela mendistribusikannya melalui akun-akun mereka. Dengan kekuatan pengguna medsos, maka tidak mustahil jika berita-berita bohong tersebut akan massif beredar di dunia maya. 

Post Truth yang disalahgunakan untuk menyebarkan berita bohong secara intens dan terus menerus akan menimbulkan kecemasan. 

Dilarang Hoax di Sosial Media

Orang yang menebarkan informasi palsu atau hoax di Sosmed akan dikenakan hukum positif. 

Hukum positif yang dimaksud adalah hukum yang berlaku. Maka, penebar hoax akan dikenakan KUHP, Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Undang-Undang No.40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, serta tindakan ketika ujaran kebencian telah menyebabkan terjadinya konflik sosial. 

Penebar hoax di dunia maya juga bisa dikenakan ujaran kebencian yang telah diatur dalam KUHP dan UU lain di luar KUHP. 

Ujaran kebencian ini meliputi penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menenangkan, memprovokasi, menghasut, dan penyebaran berita bohong. 

Jadi, hoax ini harus ada yang dirugikan, baik itu seseorang atau korporasi yang merasa dirugikan. Kalau tidak ada, yang dirugikan dikategorikan sebagai gosip di dunia maya. Perlu ada obyek dan subyek dari hoax ini.

Ujaran Kebencian

Ujaran kebencian ini biasanya bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat, antara lain suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan/kepercayaan, ras, antar golongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel, hingga orientasi seksual. 

Ujaran kebencian atau hate speech ini dapat dilakukan dalam bentuk orasi kampanye, spanduk, jejaring media sosial, penyampaian pendapat di muka umum, ceramah keagamaan, media massa cetak maupun elektronik, sampai pamphlet. 

Dasar hukum penanganan konten negatif saat ini telah tercantum dalam perubahan UU ITE. Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang No.19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal 40 ayat (2a) Undang-Undang No.19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Lalu, Pasal 40 ayat (2b) Undang-Undang No.19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sampai Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No.19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Bermuatan Negatif.

Antara Hoax dan UU ITE

Hoax itu ada dua hal. 

Pertama, berita bohong harus punya nilai subyek - obyek yang dirugikan. 

Kedua, melanggar Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal 28 ayat 2 itu berbunyi, "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukkan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). 

Kalau berita-berita itu menimbulkan kebencian, permusuhan, dan mengakibatkan ketidakharmonisan di tengah masyarakat. Sanksinya hukuman (pidana penjara) selama enam tahun dan/atau denda Rp1 miliar.

Bijak Menggunakan Medsos

Fenomena post truth dan hoax seperti ucapan Joseph Goebbels akan menjadi kenyataan. Publik akan dipusingkan dan dibingungkan terhadap kondisi mana yang sebenar-benarnya benar dan mana yang benar-benar bohong. 

Mari kita semakin bijak dalam bermedsos, semakin berhati-hati dan memfilter dahulu apa saja yang bersliweran di dunia maya tersebut. Selain itu, mari giatkan kembali untuk berfikir kritis dan skeptis. Skeptis adalah istilah yang mungkin sudah sering didengar, tapi masih belum di pahami betul maknanya. Skeptis merupakan sikap yang mempertanyakan atau mencurigai segala sesuatu karena keyakinan bahwa segala sesuatu tersebut bersifat tidak pasti. Berfikir Kritis dan Skeptis akan mencari detail atas suatu berita dari berbagai sisi, karena apa yang disajikan oleh media sosial sudah saatnya kita cerna terlebih dahulu. Selalu berhati-hatilah pada ranjau-ranjau post truth dan hoax.****HS05258

Related Posts by Categories



Widget by Hoctro | Jack Book
 
Google
 

LINK