MENGAMATI KEMANA ARAH BUMN (Part – 1)
Written by Heri Susanto on Jumat, Mei 16, 2008Saat ini beberapa perusahaan BUMN masih signifikan untuk memberikan kontribusi di dalam memberikan sumber pendapatan APBN dan multiplier effect bagi bergeraknya pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Apalagi jika mengingat bahwa dengan adanya gagasan cemerlang Pemerintah dalam infrastructure summit untuk mencapai ekspektasi pertumbuhan ekonomi sebesar 6 – 7% maka dibutuhkan biaya sebesar + 1500 Trilyun untuk pembangunan infrastruktur yang diharapkan dapat memberikan efek domino bagi pertumbuhan ekonomi.
Keterbatasan kemampuan pembiayaan investasi infrastruktur dari dana internal perusahaan – perusahaan BUMN yang bersumber dari capital expenditure maupun dari money market dan capital market akan memberikan peluang bagi masuknya investasi luar negeri untuk terlibat di dalam proyek-proyek pembangunan infrastruktur.
Perubahan paradigma penyelenggaraan infrastruktur yang tidak lagi sebagai hak eksklusif BUMN berdasarkan amanah Pasal 33 UUD 1945 dan perubahan berbagai regulasi yang sangat ekstrem sehingga sektor swasta dalam dan luar negeri dapat berkiprah dalam penyelenggaraan bisnisnya. Perubahan paradigma inilah sebagai salah satu cara untuk memberikan stimulan agar investor luar negeri mempunyai gairah untuk menanamkan investasinya di Indonesia. Mulailah kita memasuki liberalisme dan kesetaraan baik di dalam regulasi maupun kesempatan antara BUMN dan swasta (equality before the law dan equality the opportunity).
Atas nama bangsa pula akhirnya BUMN juga memberikan keikhlasan dan ketulusannya untuk memberikan privelage yang dimilikinya untuk maksud yang mulia. Padahal privelage yang dimilikinya itu merupakan kompensasi dari paradox mission yang diemban oleh BUMN yaitu antara company/corporate mission (pendekatan profit oriented) dan social mission (tidak semata-mata mengejar keuntungan.). Untuk itu pelaksanaan liberalisasi pengelolaan usaha oleh BUMN apapun tentunya jangan dikemas melalui justifikasi globalisasi dan tekanan pasar internasional tetapi juga memperhatikan keberlangsungan usaha BUMN, dampak ekonomi pemerintah daerah serta keadaan internal BUMN pasca liberalisasi. Kajian ini harus dibuat yang terkait dengan tanggung jawab pihak ketiga, Pay Service Liability dan lainnya, Analisa ini harus diperhitungkan akibat adanya liberalisasi usaha seperti jalan tol, migas, listrik, bandar udara, pelabuhan, telekomunikasi dan lainnya.
LIBERALISASI PENGELOLAAN USAHA OLEH PERUSAHAAN BUMN
Keterbatasan kemampuan pembiayaan investasi infrastruktur dari dana internal perusahaan – perusahaan BUMN yang bersumber dari capital expenditure maupun dari money market dan capital market akan memberikan peluang bagi masuknya investasi luar negeri untuk terlibat di dalam proyek-proyek pembangunan infrastruktur.
Perubahan paradigma penyelenggaraan infrastruktur yang tidak lagi sebagai hak eksklusif BUMN berdasarkan amanah Pasal 33 UUD 1945 dan perubahan berbagai regulasi yang sangat ekstrem sehingga sektor swasta dalam dan luar negeri dapat berkiprah dalam penyelenggaraan bisnisnya. Perubahan paradigma inilah sebagai salah satu cara untuk memberikan stimulan agar investor luar negeri mempunyai gairah untuk menanamkan investasinya di Indonesia. Mulailah kita memasuki liberalisme dan kesetaraan baik di dalam regulasi maupun kesempatan antara BUMN dan swasta (equality before the law dan equality the opportunity).
Atas nama bangsa pula akhirnya BUMN juga memberikan keikhlasan dan ketulusannya untuk memberikan privelage yang dimilikinya untuk maksud yang mulia. Padahal privelage yang dimilikinya itu merupakan kompensasi dari paradox mission yang diemban oleh BUMN yaitu antara company/corporate mission (pendekatan profit oriented) dan social mission (tidak semata-mata mengejar keuntungan.). Untuk itu pelaksanaan liberalisasi pengelolaan usaha oleh BUMN apapun tentunya jangan dikemas melalui justifikasi globalisasi dan tekanan pasar internasional tetapi juga memperhatikan keberlangsungan usaha BUMN, dampak ekonomi pemerintah daerah serta keadaan internal BUMN pasca liberalisasi. Kajian ini harus dibuat yang terkait dengan tanggung jawab pihak ketiga, Pay Service Liability dan lainnya, Analisa ini harus diperhitungkan akibat adanya liberalisasi usaha seperti jalan tol, migas, listrik, bandar udara, pelabuhan, telekomunikasi dan lainnya.
LIBERALISASI PENGELOLAAN USAHA OLEH PERUSAHAAN BUMN
Pelaksanaan liberalisasi berbagai sektor usaha yang selama ini di kelola BUMN melalui perubahan kran regulasi tentunya harus membawa suasana kompetisi yang fair dengan tidak mengorbankan keberlanjutan usaha yang saat ini dikelola oleh BUMN. Pelaksanaan privatisasi sebagai ibu liberalisasi tidak menghasilkan anak rasionalisasi di kalangan pegawai yang akan menimbulkan keresahan.
Liberalisasi nantinya juga tidak boleh menjadikan BUMN yang dianggap produktif menjadi rebutan pemilik modal khususnya kapitalisme asing yang semata-mata mengejar keuntungan sehingga kepentingan publik dan peran BUMN akan semakin termarginalisasi.
PERGANTIAN DIREKSI DAN KOMISARIS
PERGANTIAN DIREKSI DAN KOMISARIS
Pengelolaan BUMN harus dilakukan secara professional dalam prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG), hal ini harus dilakukan untuk mengeliminir kebuasan akibat dari liberalisasi. BUMN jangan dijadikan sapi perah untuk kepentingan partai politik tertentu dan praktek-praktek kotor yang selama ini disinyalir banyak dilakukan sehingga berdampak terjadinya pembusukan secara sistematis.
Pemilihan dan penempatan direksi dan komisaris perusahaan di bumn sudah seyogyanya tidak diletakkan dalam ranah politik dan penempatan isu atau berita tidak menimbulkan sentimen pasar yang negatif serta ketidakjelasan alat ukur yang jelas dalam bentuk balance score card ataupun fit and proper test tidak lantas menjadi fee and property cash.
Demikian juga adanya inpres 8 dan 9 dengan adanya Tim Penilai Akhir semakin menambah kerunyaman dan ketidakjelasan di lapangan dalam tataran pragmatis cukup menghambat adanya reposisi di organ direksi dan komisaris karena semakin banyaknya jalur birokrasi yang harus dilalui serta dalam konteks yuridis tidak memenuhi kaidah prinsip-prinsip perseroan terbatas.
PROGRAM PENYELAMATAN PERUSAHAAN
DI LINGKUNGAN BUMN
Sungguhpun demikian adanya paparan angka yang sangat menakjubkan dan membikin keterpanaan sesaat adanya asset BUMN di atas 1300 Trilyun serta laba diatas 25 Trilyun sangat ironis dengan keadaan di beberapa BUMN yang berada dalam kondisi sekarat misalnya PPD, Soda, Garam, Iglas, Damri, Merpati dan lainnya sementara tidak ada penanganan yang bersifat cepat.
Tahapan pemberdayaan BUMN.
Perlunya upaya pemberdayaan BUMN secara optimal dan merespon positif adanya peningkatan dan perluasan kemampuan memperluas ketersediaan prasarana infastruktur yang dikelola oleh BUMN melalui upaya kemampuan BUMN secara mandiri untuk mengelola tanpa harus menyerahkan asset dan usaha yang menjadi hak privelege kepada modal asing dan pemilik modal yang tidak jelas dananya (money laundry). Adapan pemberdayaan tersebut yaitu dengan memberikan relaksasi kredit pendanaan di dalam perluasan investasi dan usaha melalui sinergi lintas BUMN.
Harus adanya proteksi yang berkeseimbangan dan proporsional terhadap BUMN yang mempunyai paradox mission (antara company mission versus public service ) karena di dalamnya ada komponen biaya penugasan, public service obligation dan stabilitas ekonomi.
Liberalisasi yang di dalamnya adalah privatisasi agar dicari skema yang paling menguntungkan bagi BUMN ybs melalui pengumpulan atau mobilisasi dana masyarakat dari sekedar menjual kepada partikelir maupun asing, baik dalam privatisasi di bidang jalan tol, pembangkit listrik dan lainnya.
Kementerian BUMN agar mempunyai greget dan bargaining position di dalam upaya yang bersifat feed back dan two way traffic di dalam pembahasan mengenai perubahan regulasi yang bersifat membuka kran pengelolaan usaha yang selama ini dikelola oleh BUMN dan di dalam pemberdayaan BUMN serta menjauhkan usaha BUMN yang dipolitisir, menciptakan peraturan yang terang dan jelas dari sekedar peraturan abu-abu serta tidak menjadikan BUMN sebagai sasaran tembak aparat hukum sehingga pengelolaan BUMN menjadi tertatih-tatih karena harus menghadapi masalah hukum yang belum jelas.
Khusus mengenai peningkatan akselerasi pemberdayaan BUMN.
Upaya percepatan pergantian direksi dan komisaris BUMN secara definitif bagi yang sudah habis masa waktunya, atau mereka yang menjadi kareteker karena adanya status demisioner atau transisi di beberapa BUMN.
Adanya Inpres 8 Tahun 2005 diharapkan tidak adanya duplikasi dan overlapping terhadap kewenangan Kementerian BUMN selaku kuasa pemegang saham sehingga proses akselerasi pergantian manajemen di BUMN dapat segera terealisir dengan memperhatikan adanya fit and proper test (bukan fee and property cash), moral obseravation, sosiologis, reward and punishment, balance score card dan key performance indicator, data intelijen, feed back dari serikat pekerja masing-masing dan memperhatikan kebutuhan dalam perusahaan serta career planning dari pekerja masing-masing perusahaan.
Harus dibentuk semacam lembaga recovery yang bertugas untuk menyediakan funding, restrukturisasi, penyertaan modal dimana dana tersebut diambil dari sekian persen laba BUMN secara holistik untuk penyembuhan BUMN-BUMN yang berada dalam kondisi tidak sehat sehingga ada upaya yang bersifat URC (unit reaksi cepat) dalam bentuk pemberian dana talangan, cross funding dan sebagainya.
Menuntut adanya ketegasan Master Plan BUMN tahun 2005-2009 tentang adanya stand alone, focus holding dan roll-up di lingkungan BUMN sehingga tidak menimbulkan keresahan.
Perlunya bereaksi dan menuntut adanya ketegasan Kementerian BUMN agar segara mempunyai sikap yang jelas terhadap nasib BUMN-BUMN yang berada dalam kondisi kritis baik dalam bentuk pemberian transfusi atau amputasi dengan kompensasi yang paling baik bagi kepentingan karyawan perusahaan BUMN yang bersangkutan.